Saya mengingat lagi cerita teman saya. Baru beberapa hari saya
temui dia di medan. Jujur, pikiran saya masih
terbebani oleh cerita yang ia ungkapan. Tentang hubungannya, tentang
kekasihnya, yang jauh dari kata normal. Iya, mereka berbeda, tidak sama seperti
orang lainnya.
Ketika dia bercerita dengan menggunakan air mata, saya tahu
bahwa beban yang ia pikul sangatlah berat. Air mata yang saya lihat hari Rabu
kemarin adalah luapan emosinya yang sempat tertahan. Saya bisa rasakan sakit
yang memukul-mukul perasaannya. Tapi, dalam duka, masih terselip kebahagiaan
yang mampu ia ceritakan pada saya, walau dengan suara tertatih, walau dalam
halaan napas lirih.
Jatuh cinta adalah dua kata yang sulit dijelaskan. Tidak
terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga
mendeskripsikan. Saya tidak akan berbicara tentang cinta, juga tentang mimpi
omong kosong yang diciptakan saat hadirnya cinta. Ini semua soal kenyataan,
soal dunia yang begitu klise. Agama.
Air mata memang sia-sia, karena yang dibutuhkan di
sini adalah kedewasaan. Semua berawal manis dan indah. Teman saya, awalnya
memang bercerita dengan senyum sumringah. Ia berkenalan dengan seorang pria,
secara tidak sengaja. Tentu saja, kita seringkali menganggap banyak hal terjadi
karena kebetulan. Kebetulan mungkin adalah rencana Tuhan yang belum benar-benar
kita pahami.
Tatapan mereka saling beradu, hanya senyum dan tawa yang
tercipta kala itu. Teman saya, wanita beragama Khatolik tersebut, baru selesai
pentas tari. Lalu, dunia berkonspirasi, mempertemukan dia dengan seorang pria,
yang membuat hatinya merasa nyaman. Pria yang tiba-tiba merangsuk masuk dalam
ingatan dan jengkal napasnya.
Indah memang, cinta mengubah segala yang hitam putih menjadi
warna-warni. Tumpukan kebahagiaan semakin sempurna, ketika perkenalan teman
saya dan pria itu berlangsung ke tahap yang lebih dalam, lebih dekat.
Segalanya terasa manis, walaupun juga terasa asing. Rasa nyaman
itu kini berangsur berubah menjadi rasa takut kehilangan. Mereka berusaha untuk
saling melindungi satu sama lain. Mungkin, ketika salib berada dalam genggaman
tangan teman saya, dan ketika tasbih berada dalam genggaman pria itu; dengan
air mata, mereka saling mendoakan.
Saya bisa rasakan kehangatan mereka. Sangat hangat. Sangat
dekat. Saya iri, mengingat hubungan saya yang lebih dulu kandas termakan
perpisahan. Saya dan pria di masa lalu tersebut tidak sekuat dan setegar teman
saya. Oh, jadi curhat. Sungguh, saya benci membahas masa yang tak ingin saya
ingat lagi. Teman saya dan kekasihnya masih terus mempertahankan walau mereka
berbeda. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk tidak saling jatuh cinta.
Inilah yang membuat saya semakin terharu, teman saya menunggu
kekasihnya salat di masjid. Ia menunggu dengan sangat sabar meskipun lirikan
mata yang tajam tertuju padanya.
Dalam perbedaan, mereka saling menguatkan. Keindahan mereka
sampai pada kelopak mata saya. Saya tak tahu harus berkomentar apa. Terharu?
Prihatin? Sinis?
Hey, mereka berbeda dari pasangan yang lainnya. Mereka bukan
pasangan bermanja-manja yang mabuk kepayang akan cinta, saling bergelayut mesra
dalam pelukan. Sampah. Pacaran model cinta monyet. Teman saya dan kekasihnya
sungguh berbeda, mereka punya kebahagiaan yang tak dimengerti banyak orang.
Kebahagiaan yang belum tentu bisa dirasakan oleh banyak orang yang sibuk
menghakimi hubungan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar